Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia menilai tekanan global masih mempengaruhi pergerakan mata uang rupiah terhadap dolar AS di negara maju maupun negara berkembang.

“Situasi globalnya masih menimbulkan tekanan di negara-negara ’emerging market’”

Mirza menjelaskan penyebab terjadinya gejolak kurs ini tidak hanya disebabkan oleh respon pelaku pasar dalam menanggapi membaiknya data perekonomian di AS, namun juga karena perlemahan mata uang China.

Depresiasi mata uang terhadap dolar AS ini, tidak hanya dialami oleh rupiah, namun juga dengan mata uang Polandia, Brasil, Meksiko dan India.


 
“Tidak harus dibandingkan dengan Argentina dan Turki yang melemahnya sampai 20 persen, India, Polandia dan Chili, semua perlemahannya bahkan lebih dalam dari Indonesia,” katanya.

Menurut Mirza, perlemahan rupiah saat ini tidak begitu dalam dibandingkan mata uang negara-negara tersebut, karena kondisi pasar keuangan Indonesia sudah lebih kuat dan stabil dalam menghadapi tekanan eksternal.

“BI sudah menaikkan suku bunga 100 bps. Pasar keuangan Indonesia sudah cukup menarik dilihat dari ‘interest rate’. Terhadap India, kita sudah lebih baik. Kalau dilihat dari ‘fair value’ dari rupiah juga sekarang sudah menarik,” ujarnya.

Dalam kondisi ini, pemerintah dapat melakukan upaya dalam jangka menengah panjang yaitu dengan memperbaiki iklim perdagangan dengan berusaha untuk mendorong ekspor sebagai bagian dari rencana untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan.

Apabila kondisi sudah kembali normal dan berbagai sentimen negatif telah hilang, maka para pelaku pasar akan kembali menanamkan modal ke Indonesia dan kurs rupiah kembali stabil, apalagi kondisi fundamental saat ini telah terjaga dengan baik.

“Kalau sudah kembali normal, pasar akan melihat kembali kepada fundamental Indonesia. Fundamental kita fiskalnya sehat, defisit APBN 2,2 persen. Kondisi perbankan juga sehat,” kata Mirza.

 

Sumber, Foto :

Editor : Redaksi StocLover.com

Pin It on Pinterest

Share This